Kamis, 18 Juni 2015

Resolusi Hijau, Mengelola Sampah Keluarga


“Revolusi Hijau” mungkin cukup familiar bagi sebagian kita. Istilah tersebut digunakan pada usaha merubah pertanian tradisional dalam meningkatkan produksi pangan secara signifikan. Di Indonesia, Revolusi Hijau pernah membuahkan hasil dengan meningkatnya produksi beras secara tajam. Tetapi di sisi lain, beberapa dampak negatif seperti penggunaan pestisida dan pupuk secara berlebihan telah menurunkan kualitas lingkungan.

Bagaimana dengan “Resolusi Hijau”?

Gaung Resolusi Hijau barangkali tidak sebesar Revolusi Hijau, karena tidak adanya usaha-usaha masif dan terkoordinasi dari pemerintah untuk menjalankannya. Tujuan Resolusi Hijau pun tidak bersifat antroposentris, menjadikan alam sebagai obyek untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tetapi Resolusi Hijau memiliki peran sangat penting bagi manusia di era kini mau pun yang akan datang.

Resolusi Hijau menintikberatkan pada usaha-usaha kecil untuk memperbaiki kerusakan alam akibat perbuatan manusia. Jiwa dari Resolusi Hijau adalah peran aktif setiap individu untuk peduli dan melakukan sesuatu guna memperbaiki lingkungan. Resolusi Hijau hanya bisa berhasil jika dalam diri setiap orang tumbuh kesadaran setiap orang mencintai alam.

Salah satu usaha Resolusi Hijau yang paling sederhana adalah dari sampah. Coba kita renungkan, berapa botol air mineral, berapa bungkus makanan ringan, berapa kopi instan, berapa mie instan, berapa makanan yang kita konsumsi setiap hari? Itu semua selalu menghasilkan satu hal: sampah plastik yang tidak terurai selama ratusan tahun. Berapa gunungan sampah plastik yang dihasilkan seratus orang selama sepuluh tahun?

Beberapa belas tahun lalu, jika berkunjung ke desa kita akan menemukan alam yang masih benar-benar asli. Tapi hari ini jika kita datang ke desa, sampah plastik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemandangan desa.

Sebagai orang yang tinggal di desa, saya memulai Resolusi Hijau mengatasi sampah dari diri sendiri. Seperti umumnya sampah, hal pertama yang saya lakukan adalah memilah sampah dengan menyiapkan 3 kantong sampah. Kantong pertama untuk sampah dapur atau organik, kantong kedua untuk sampah padat yang bisa didaur ulang seperti kaleng atau botol air mineral, dan kantong ketiga untuk sampah non organik dan plastik lembaran.

Untuk kantong pertama saya membuangnya dengan mengembalikan ke alam. Lebih sering saya kubur di kebun saat sudah penuh, jika terurai akan menjadi pupuk bagi tanah. Dengan penemuan teknologi biopori, sekarang biasanya saya potong-potong dan masukan ke dalam biopori di sekeliling rumah.

Kantong kedua biasanya penuh setelah 2 minggu. Jika sudah penuh saya memberikannya kepada pemulung “langganan” yang sering lewat di depan rumah. Meskipun bisa dijual saya tidak menjualnya, dan cukup bersyukur dibantu membersihkan sampah dari rumah.

Kantong ketiga adalah kantong sampah paling bermasalah. Mau tidak mau saya harus membakarnya. Ini karena di lingkungan kami tidak memiliki sarana pengelolaan sampah terintegrasi. Andai pun diambil oleh petugas sampah, akhirnya hanya akan dipindahkan ke tempat lain, tidak dimusnahkan dan menumpuk entah sampai kapan.

Ada cara agar sampah tersebut terbakar sampai habis. Saya biasanya mengikat sampah tersebut dalam kantong plastik lalu diletakkan di atas tumpukan bahan yang mudah terbakar, misal kertas. Yang kita bakar adalah kertas yang ada di bawah sampah, perlahan-lahan api akan membesar dan membakar plastik yang berada di bagian atas sampai tak bersisa.
Selain beberapa cara tersebut saya juga menerapkan beberapa kebiasaan bagi keluarga saya, untuk sebagian orang beberapa mungkin terlihat sangat aneh. Setelah mengkonsumsi apa pun, sampah plastik selalu dikantongi dan dibawa pulang untuk dibuang di tempat sampah di rumah. Untuk minuman kopi, saya lebih sering membeli dalam kemasan besar sehingga tidak banyak menghasilkan sampah plastik.

Kebiasaan tersebut ternyata bukanlah hal baru. Saya pernah membaca bahwa masyarakat Jepang sangat disiplin dalam membuang sampah. Mereka juga tidak membakar sampah karena pengolahan sampah sudah sangat baik dan terintegrasi di tiap daerah. Di tempat saya sendiri, saya tidak bisa membayangkan jika hidup di kota. Membakar sedikit sampah tentunya akan sangat mengganggu tetangga yang rumahnya berdekatan. Inilah “Pekerjaan Rumah” bagi warga kota, pemerintah dan program LSM seperti “The Nature Conservancy Program Indonesia” untuk kepeduliannya terhadap lingkungan. Di desa pun sebetulnya ada tantangan untuk menularkan kebiasaan tidak membuang sampah seenaknya dan mengotori lingkungan hingga berratus-ratus tahun.

Resolusi Hijau diawali dari kesadaran bahwa sampah non organik yang kita buang hanya berpindah tempat dan tidak akan musnah.

Bogor, 28 Januari 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar