“Revolusi
Hijau” mungkin cukup familiar bagi sebagian kita. Istilah tersebut
digunakan pada usaha merubah pertanian tradisional dalam meningkatkan
produksi pangan secara signifikan. Di Indonesia, Revolusi Hijau
pernah membuahkan hasil dengan meningkatnya produksi beras secara
tajam. Tetapi di sisi lain, beberapa dampak negatif seperti
penggunaan pestisida dan pupuk secara berlebihan telah menurunkan
kualitas lingkungan.
Bagaimana
dengan “Resolusi Hijau”?
Gaung
Resolusi Hijau barangkali tidak sebesar Revolusi Hijau, karena tidak
adanya usaha-usaha masif dan terkoordinasi dari pemerintah
untuk menjalankannya. Tujuan Resolusi Hijau pun tidak bersifat
antroposentris, menjadikan alam sebagai obyek untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Tetapi Resolusi Hijau memiliki peran sangat
penting bagi manusia di era kini mau pun yang akan datang.
Resolusi
Hijau menintikberatkan pada usaha-usaha kecil untuk memperbaiki
kerusakan alam akibat perbuatan manusia. Jiwa dari Resolusi Hijau
adalah peran aktif setiap individu untuk peduli dan melakukan sesuatu
guna memperbaiki lingkungan. Resolusi Hijau hanya bisa berhasil jika
dalam diri setiap orang tumbuh kesadaran setiap orang mencintai alam.
Salah
satu usaha Resolusi Hijau yang paling sederhana adalah dari sampah.
Coba kita renungkan, berapa botol air mineral, berapa bungkus makanan
ringan, berapa kopi instan, berapa mie instan, berapa makanan yang
kita konsumsi setiap hari? Itu semua selalu menghasilkan satu hal:
sampah plastik yang tidak terurai selama ratusan tahun. Berapa
gunungan sampah plastik yang dihasilkan seratus orang selama sepuluh
tahun?
Beberapa
belas tahun lalu, jika berkunjung ke desa kita akan menemukan alam
yang masih benar-benar asli. Tapi hari ini jika kita datang ke desa,
sampah plastik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pemandangan
desa.
Sebagai
orang yang tinggal di desa, saya memulai Resolusi Hijau mengatasi
sampah dari diri sendiri. Seperti umumnya sampah, hal pertama yang
saya lakukan adalah memilah sampah dengan menyiapkan 3 kantong
sampah. Kantong pertama untuk sampah dapur atau organik, kantong
kedua untuk sampah padat yang bisa didaur ulang seperti kaleng atau
botol air mineral, dan kantong ketiga untuk sampah non organik dan
plastik lembaran.
Untuk
kantong pertama saya membuangnya dengan mengembalikan ke alam. Lebih
sering saya kubur di kebun saat sudah penuh, jika terurai akan
menjadi pupuk bagi tanah. Dengan penemuan teknologi biopori, sekarang
biasanya saya potong-potong dan masukan ke dalam biopori di
sekeliling rumah.
Kantong
kedua biasanya penuh setelah 2 minggu. Jika sudah penuh saya
memberikannya kepada pemulung “langganan” yang sering lewat di
depan rumah. Meskipun bisa dijual saya tidak menjualnya, dan cukup
bersyukur dibantu membersihkan sampah dari rumah.
Kantong
ketiga adalah kantong sampah paling bermasalah. Mau tidak mau saya
harus membakarnya. Ini karena di lingkungan kami tidak memiliki
sarana pengelolaan sampah terintegrasi. Andai pun diambil oleh
petugas sampah, akhirnya hanya akan dipindahkan ke tempat lain, tidak
dimusnahkan dan menumpuk entah sampai kapan.
Ada
cara agar sampah tersebut terbakar sampai habis. Saya biasanya
mengikat sampah tersebut dalam kantong plastik lalu diletakkan di
atas tumpukan bahan yang mudah terbakar, misal kertas. Yang kita
bakar adalah kertas yang ada di bawah sampah, perlahan-lahan api akan
membesar dan membakar plastik yang berada di bagian atas sampai tak
bersisa.
Selain
beberapa cara tersebut saya juga menerapkan beberapa kebiasaan bagi
keluarga saya, untuk sebagian orang beberapa mungkin terlihat sangat
aneh. Setelah mengkonsumsi apa pun, sampah plastik selalu dikantongi
dan dibawa pulang untuk dibuang di tempat sampah di rumah. Untuk
minuman kopi, saya lebih sering membeli dalam kemasan besar sehingga
tidak banyak menghasilkan sampah plastik.
Kebiasaan
tersebut ternyata bukanlah hal baru. Saya pernah membaca bahwa
masyarakat Jepang sangat disiplin dalam membuang sampah. Mereka juga
tidak membakar sampah karena pengolahan sampah sudah sangat baik dan
terintegrasi di tiap daerah. Di tempat saya sendiri, saya tidak bisa
membayangkan jika hidup di kota. Membakar sedikit sampah tentunya
akan sangat mengganggu tetangga yang rumahnya berdekatan. Inilah
“Pekerjaan Rumah” bagi warga kota, pemerintah dan program LSM
seperti “The
Nature Conservancy Program Indonesia” untuk
kepeduliannya terhadap lingkungan. Di desa pun sebetulnya ada
tantangan untuk menularkan kebiasaan tidak membuang sampah seenaknya
dan mengotori lingkungan hingga berratus-ratus tahun.
Resolusi
Hijau diawali dari kesadaran bahwa sampah non organik yang kita buang
hanya berpindah tempat dan tidak akan musnah.
Bogor,
28 Januari 2015